Monday, February 28, 2011

Liga Pendidikan Indonesia (LPI)

supporter 
Di mana-mana, mau di kampung, di kota besar, di Milan, Madrid, atau di Zimbabwe sekalipun, yang namanya pertandingan sepak bola pasti rame. Juga LPI ini. Dimulai dari tingkat Kabupaten/Kota (Dati 2) memperebutkan Piala Bupati/Walikota, sampai akhirnya tingkat nasional, memperebutkan piala Si Gendut (Presiden). Kayaknya pertandingan awal bagi SMA 8 adalah SMA 8 vs SMA 5. Waktu itu SMA 5 kalah lewat adu penalti. Skornya aku lupa. Habis itu, penyisihan SMA 8 vs. SMK Muhammadiyah menang 8-1 (ga seru sama sekali!). Masuk 8 besar, SMA 8 vs SMK 5, menang 3-0. Masuk 4 besar, lawan SMA 2. Skor awal 0-0. Kalah penalti 3-0. 
Nah, ini bagian paling aneh dari sejarah sepak bola yang kutau. Jadi, waktu itu, shooternya 3 orang adalah yang hebat2nya. Shotter 1, Mukhlis (13)-penyerang. Bola yang ditendangnya tiba-tiba berbelok keluar gawang. Shooter 2, Bakar (C-10), bolanya nyentuh mistar gawang. Sementara tembakan dari pemain SMA 2 masuk semua. Shooter 3, Arijal (7), melenceng juga. Kita tercengang semua. Daaaan, anak-anak bilang SMA 2 pake pawang! Ada yang berjaga di belakang gawang. Baiklah, omongan orang kalah, pikirku. Ternyata, pas diceritain ke banyak orang, semua orang juga bilang begitu! Daerah mereka terkenal suka berpawang-pawang kalau main bola. Goalkeepernya bisa tiba-tiba kakinya kram, ga bisa gerak. Pemain lain bisa ngerasa tiba-tiba kakinya berat kayak digantungin jeriken. My goodness! Sutralah, paling nggak kita sportif dan fokus ke juara 3 dan 4.
Mukhlis (13)

adu penalti
Final untuk posisi 3 dan 4 ma 1-2 berlangsung Jumat (25/02) kemarin. Lagi-lagi, berakhir sampai ke penalti. Babak 1 SMA 8 memimpin 1-0. Babak ke-2 dibalas gol jadi 1-1. Penaltinya 5-4. Perfect score! Jadilah mereka dapat juara 3, dapat uang pembinaan 3 juta, plakat, dan bronze medal. Yang juara 1 dan 2 nya antara SMA 1 dan SMA 2. Nah, berakhir penalti juga. Katanya goalkeeper SMA 1, kakinya berasa kram itu tadi heheheh. Ngerasain juga. Jadilah, SMA 2 yang maju ke provinsi mewakili PPU. Gatau, pake magic2an lagi ga itu. Payah banget, demi bola sampai rela menyampingkan nilai-nilai kepercayaan/agama dan mempertaruhkan sportivitas.
Sekarang tentang pemain. Kebanyakan pemainnya dari kelas X dan XI IPS. XI IPA sama sekali ga ada! I mean, mereka rata-rata anak yang pas-pasan bahkan ga jelas kalau di kelas. Nilainya hancur-hancur, nakalnya ga karuan. Ini untuk pemain utama ya. Pemain cadangannya sih ada aja yang lumayan pintar. Jadi, aku liat mereka tuh, kalau di kelas kan rasanya ilfil banget, tapi beda pas di lapangan heheheheh. Kayak hero gitu lah. Mukhlis yang paling gencar nyerang itulah yang paling ga tau apa-apa di kelas. Tapi, aku jadi respek sama mereka. Pemain bola eh! Apalagi yang namanya goalkeeper. The most amazing position hehehehe. Anyway, yang namanya Mukhlis itu pindah dari SMA 8. Tadi bapaknya datang untuk mengajukan kepindahan anaknya ke SMA 3 Balikpapan. Untuk mengasah skill bolanya kali. Kata bapaknya sih, SMA 3 nya yang personally meminta ke bapaknya Mukhlis. Sayangnya ga ada nilai transfer.

Thursday, February 10, 2011

Mengemis Jam

 This is another story about my beloved friend, Heather. Jadi, guru berhak mendapatkan tambahan penghasilan pokok entah apa. Ada dua macam, dari pusat (dari si SBY) dan dari provinsi. Dari SBY syaratnya adalah harus guru. Cuma itu. Kalau dari provinsi, syaratnya minimal jumlah jam mengajar per minggu adalah 18 jam. Di sekolahku tercinta, semua orang konon udah pas 18 jam atau lebih. Ada yang 30 jam. Ini biasanya untuk mapel yang ada di semua kelas such as Math, Bhs Indo, English. Kalau ga cukup 18 jam gimana? Ya harus mencari jam tambahan di sekolah lain.
Nah, ada dua guru yang paling malas dan cuek di sekolahku yang males nyari tambahan jam. Bu Indun guru TIK dan aku. Kami berdua sama-sama cuma kebagian 14 jam per minggu. Itu pun rasanya aku dah kecapean. Alhasil, kata Bu Ani-Kur, "Kamu dan Indun yang ga dapat. Aku sudah mengusulkan soal kepala Lab dan kepala Perpus ke Bapak (Principal--wrt) tapi, kata Beliau sarana itu belum ada, jadi jangan diada-adakan." Padahal jabatan itu bernilai 12 jam lho! 
Akhirnya, salah satu kolegaku menyarankan agar aku meminta jamnya si Heather, yaitu Math secara Beliau yang tercinta sudah mengantongi 32 jam. Principal setuju dan Heather setuju. Aku dikasih kelas X-A (5 jam). Sekarang tinggal si Indun. Indun yang serumpun cuma Math. Hasil mengobrol dengan Bu Kur, Indun lebih baik meminta jam lagi dengan Heather untuk 1 kelas. Katakanlah X-B (5 jam juga). Trus aku bilang, "Tapi tar si Heather jamnya tinggal 20, tar ga mau dia." (Guru selayaknya mengajar 24 jam/minggu). "Coba dibicarakan dulu," kata Bu Kur.
Pas Heather selesai mengajar, dia ke ruang guru, aku dan Indun langsung mendekatinya. Aku bilang baik-baik lho. "Bu, kita mau tanya, bisakah kita minta jamnya buat Bu Indun. Kalau dia dikasi kelas X-B boleh ga? Untuk semester ini aja, biar dapat semua kan enak nih," gitu kataku. Respon Heather, "Wah, jam saya jadi kurang dunk, ga mau saya!"  "Kan jadi 20 jam, masih bisa dapat TPP. Untuk semester ini aja kok."
"Wah, jangan dunk, tar kalau jam saya kurang dari 24 jam, saya dimarahin lagi," katanya dengan nada ketus, meninggi, meremehkan, dan ga bersahabat. 
Indun udah diam aja, ga berani respon apa-apa. Sambil kasih isyarat ke aku (dia duduk di belakangnya Heather):  'Udah ga usah diterusin.' Kubilang, dimarahi siapa? Siapa lagi, itu lah. Gitu katanya. Aku tahu maksudnya Bu Kur. Mereka kan emang saling benci. Mau ga mau dunk aku bilang, "Enggak, tadi dah bilang ma dia dan dia nyaranin gitu juga." Langsung melotot dan menyembur dia, "OH, SAYA GA MAU!! SAYA GA MAU DIATUR-ATUR BEGITU!!"
Akhirnya kubilang, "Oh, gitu ya. Ya udah deh ga usah, Bu. Gak jadi aja. Ga papa kok. Satu kelas aja deh. Bu Indun ga usah." Aku sudah mau pergi dengan Indun (waktu itu mau ke SMK 2) akhirnya dia bilang dengan lebih ketus dan terbakar cinta, "Sudah, silakan Ibu ambil kelas X, Bu Indun kelas XI. Saya pegang kelas XII aja. Saya mau cari jam keluar sekolah aja!!!" Kubilang sambil bernada ketawa gitu, "Wah janganlah, masa jadi Ibu yang keluar? Kan jamnya cukup aja." "Biarin aja, saya senang malah kalau keluar dari sini. Happy! Bahagia!" 
"Ya udah ga jadi ah, Bu." Akhirnya aku ngajak Bu Indun keluar dengan segera. Bu Indun sakit hati dan tersinggung ternyata. Kayak pengemis aja kita. Gitu katanya. Aku jadi males juga minta jamnya. Jadi jengkel juga aku kalau kuingat-ingat. Orang kita ngomong baik2 kok dia merasa kayak diintimidasi gitu. Kemarin sih aku masih baik-baik aja ma dia, berasa ga ada masalah. Tapi tadi, ga kutegur sama sekali dia. Bu Indun juga gitu. Tersinggung banget kayaknya dia. Tadi dia sibuk ke sekolah entah apa, nyari tambahan jam katanya.
Jadi TU dan guru-guru lain kan dah tau kalau aku ma Bu Indun ga jadi minta jamnya. Kata TU dan BK, "Gimana, Bu, dia nyari jam di sekolah lain lho!" "Ah, ga urus aku. Mau jam dia 40 kek, 50 kek, terserah. Makan tu jam!"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...