Wednesday, May 11, 2011

Belated MidTest

 
 
Tanggal 25 April - 3 Mei kemarin SMA 8 nyelenggarakan midtest. Agak terlambat sih. Cuman, karena jadwal sebenarnya barengan ma UN, jadi praktis diundur. Midtest yang agak formal (modelnya seperti ujian semester) baru kali ini diadain di SMA 8. Biasanya midtest dilaksanakan masing-masing guru pas jam mengajar biasa. Masalah guru mau beneran ngasi soal khusus atau cuman gabung-gabung nilai ulangan harian, ga ada yang peduli. Yang penting ada nilainya.
Kepala sekolah ini kan baru. Masuk pas awal semester 2. Beliau menginstruksikan midtest diadakan terjadwal, sama persis seperti ujian semester. Pake soal khusus, pake jadwal ujian dan jadwal pengawas, pake panitia-panitiaan. Sesuai dengan UU, katanya. Entah karena kurang terbiasa, entah karena malas, beberapa guru seakan memboikot midtest kemarin. Ditambah kepala sekolah jarang ada di sekolah (dinas luar). Jadilah, pelaksanaannya agak kacau terutama karena guru-guru yang ditunjuk jadi pengawas banyak yang ga peduli dan nggak mau melaksanakan tugasnya.
Alhasil, yang masih berhati manusia, pura-pura minta izin dan minta tolong untuk digantikan. Yang kurang berhati manusia, nyelonong aja kabur atau ngobrol-ngobrol di ruang guru ga mikir dosa. Alhasil, aku dan beberapa kawan yang "bertanggung jawab" dan solider serta helpful, selalu ngegantiin para guru yang mangkir dari jam. 
Hari kelima aku mulai marah. Gara-garanya, pas aku ga ada jadwal mengawas, beberapa ruang ujian masih kosong. Maksudnya, anak-anak sih sudah masuk, tapi pada bengong karena ga ada pengawas yang datang bawa soal. Aku masuk ke ruang panitia, liat amplop soal masih banyak teronggok di meja. Tandanya beberapa ruang belum ada pengawasnya. Sementara pas aku ke ruang guru sebelumnya, aku liat beberapa guru yang tidak berhati manusia itu asyik aja ngobrol sambil beberapa ngudut. >.< 
"Ini ga ada yang mengawas?"
"Enggak," kata Pak Shahab. "Ga ada jadwal."
"Saya juga nggak ada jadwal!" Dengan suara meninggi, langsung keluar dari situ.
Selesai itu, aku marah dan tereak-tereak bener di ruang panitia. Salah sasaran sebenernya marahnya karena ke temen-temen deket juga. Sementara mereka kan bukan yang tidak berhati manusia itu.
Besoknya, hari Sabtu alias hari keenam, makin marah aku. Kubentak-bentak orang tak berhati manusia itu di ruang guru. 
"Ga ada yang mau ngawas bener? Dibiarin ajalah anak-anak itu ujian tanpa pengawas, mau?"
"Kita gak ada jadwal, nanti dimarahin kalau ngambil jadwal orang."
"Oh, ga ada jadwal ya? Jadi yang di ruangan yang banyak kosong itu harusnya jadwal siapa? Saya piket, sekarang ini mata pelajaran saya yang diujikan. Masa saya juga yang mengawas sih?"
Akhirnya satu demi satu mereka masuk ke ruang panitia dan ngambil map soal. Aku berasa ketua panitia aja marah-marah heheheheh. Kesabaran dah habis. 
Si Heather dunk keren, masih bisa kirim SMS ke ketua panitia dan bilang:
'Pak, maaf ya, sebenarnya saya ga enak lho sama Bapak, karena ga mau ngawas ujian. Tapi gimana ya, saya udah telanjur sakit hati gara-gara pas UN ga dikirim ngawas. Saya kira ketua panitianya dia, ternyata Bapak ya. Lain kali ya, Pak, kalau ada event lain.
Dibalas ma ketua panitia: 'Ya udahlah, dienakkin aja.'
Wtf, lain kali, event lain. Ini bagian dari job desc kamu sebagai guru eh. Bukan event yang lain kali ada lagi atau ajang balas dendam dari rasa sakit hati. Bisa sakit juga hati kamu ya, kupikir. Secara kamu biasanya nyakitin perasaan orang lain dengan sadar, seakan tak berhati manusia.

Friday, May 6, 2011

Monster Beraksi

 
Sudah jadi rahasia umum kalau anak-anak di SMA 8 menjuluki si Heather dengan sebutan monster. Dengan wajah mengerikan, badan besar, jalan seperti orang hendak pergi perang, ditambah kalau jengkel tak segan mendamprat di depan wajah dengan kata-kata kasar, rasanya julukan itu tidak terlalu berlebihan. 
Setelah sebelumnya sukses mendamprat seorang murid di depan teman-temannya dan memaki, "Anj**g!" dan tidak mendapat hukuman dari bos, si monster kembali beraksi. Kejadiannya sudah berlangsung agak lama, namun maaf penulis baru bisa menceritakan ulang di sini karena baru sembuh dari shock dan ketakutan tingkat tinggi. 
Waktu hari ketiga UN, Rabu 20 April 2011, kira-kira kejadiannya begini. Si Ibu P, yang rese bin ribut bin tua, sibuk buka-bukain snack box. Ngedumel sendiri, as usual, ga ada yang ngeh doski ngomong apaan. Intinya, menurut si monster/Heather, Ibu P bilang: "Kalau ada sisa kue jangan dibawa pulang, simpan aja di ruang kepala sekolah. Jangan dimakan, nanti salah lagi. Kemarin itu ada yang bawa pulang nasi kotak."
Heather yang merasa kalau sehari sebelumnya membawa pulang kotak nasi tersinggung. Menurut dia, memangnya kenapa, toh berlebih. Akhirnya Heather berasumsi kalau mungkin ketua panitia yang marah. Karena ketua panitia adalah musuhnya, maka dia makin tersinggung. Dia nanya ke salah satu anak TU, "Bu, memangnya ada yang marah kalau saya bawa nasi?"
"Nasi apa?" kata si TU. Jelas TU ga tahu menahu soal snack box dan meal box, karena bukan urusan dia. Oiya, yang ditunjuk jadi seksi konsumsi memang si Ibu P. 
"Katanya ada panitia yang marah kalau saya bawa pulang nasi yang kelebihan."
"Ga lah, kita kan ga ngurusin konsumsi, Bu."
Ga lama, Ibu P masuk ke ruang pengawas dan ngecek boks-boks makanan lagi, sambil tetap ngedumel. Naik daun lah ini si monster. Setelah suhu tubuh meningkat sampai cairan tubuh hampir berubah jadi steam (dramatisasi), pasang posisi dan gestur marah, berteriaklah dia membahana sampai radius 3 meter.
"Kamu tuh ya," (sambil nunjuk-nunjuk) "kalau ngomong jangan sembarangan. Jaga mulut kamu, dasar orang tua!"
"Saya..."
"Diam kamu! Jangan bicara!"
"Bukan...."
"Diam! Sekali lagi saya bilang ya, kamu tuh sudah tua, jaga mulut kamu. Siapa bilang kalau...."
Ibu P diam, nangis karena shock, malu, dan sedih, itu dugaanku. Tapi dia memang nangis.
"Ini uang!" (banting uang 20ribuan di atas meja, di depan Ibu P), "Buat ganti nasi kotak yang kemarin saya bawa!  Mulai sekarang ga usah bicara sama saya lagi!"
Aku ga lihat sendiri, cuma diceritain. Tapi ikut merinding. Bener kata anak-anak, she's a monster! Ibu P, betapa pun menyebalkan karena ga bisa berenti ngomong, tapi ga ada yang berani maki-maki apalagi nunjuk-nunjuk dan meng-kamu-kamu-kan. Orang tua. However kita masih hargai itu. Lagi pula, dia kan terbiasa ngomong ga jelas, ngapain juga dimasukkan ke hati.
Setelah dengar cerita itu, aku melamun dan bilang ke si pencerita, "Kayaknya aku ga berani banyak ngomong dan deket-deket si monster itu deh. Daripada salah ngomong dan dimaki-maki pake acara nunjuk lagi."

(gambar dari Monster Hunter 3, http://www.videogamesindonesia.com/plugins/p2_news/printarticle.php?p2_articleid=1272)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...